Rabu, 02 Juni 2010

KETERIKATAN TERHADAP HUKUM SYARA’


Allah SWT telah menciptakan manusia dan menjadikannya sebagai sebaik-baiknya makhluk dengan memberikan kepada manusia akal yang mampu membedakan baik dan buruk. Allah SWT telah ciptakan dalam diri manusia potensi kehidupan (thaqatul hayawiyah) berupa kebutuhan naluri (gharaaiz) yang terdiri dari naluri beragama (Gharizatut Tadayyun), naluri mempertahankan diri (Garizatul Baqa) serta naluri melangsungkan keturunan (Gharizatun Nau’). Di samping itu Allah SWT juga telah menciptakan potensi kehidupan lainnya berupa kebutuhan jasmani (Hajatul Adlawiyah) yang penampakannya berupa berupa rasa lapar, rasa haus, rasa kantuk, bernafas, keinginan buang hajat dan lain-lain. Berdasarkan potensi kehidupan yang dimilikinya inilah manusia menjalani kehidupannya didunia.

Naluri beragama (gharizatut tadayyun) yang dimiliki manusia penampakannya mendorong manusia untuk mensucikan sesuatu yang mereka anggap sebagai wujud dari sang pencipta Yang Maha Kuasa dan Maha Sempurna. Karena itu dalam diri manusia ada keinginan untuk memuliakan pahlawan, kecenderungan beribadah kepada Allah, perasaan kurang, lemah dan membutuhkan kepada yang lainnya. Adanya kebutuhan ini telah diisyaratkan Al-Qur’an dimana manusia cenderung minta dan mohon ampun dan pertolongan kepada Allah SWT.

Firman Allah SWT :
“Dan apabila manusia itu ditimpa kemudaharatan, dia memohon (pertolongan) kepada Tuhannya dengan kembali kepada-Nya; kemudian apabila Tuhan memberikan ni’mat-Nya kepadanya lupalah dia akan kemudharatan yang pernah ia berdo’a (kepada Allah) untuk (menghilangkannya) sebelum itu, dan dia mengada-adakan sekutu-sekutu bagi Allah untuk menyesatkan (manusia) dari jalan-Nya. Katakanlah : “Bersenang-senanglahlah dengan kekafiranmu itu sementara waktu; sesungguhnya kamu termasuk penghuni neraka”. (QS Az Zumar

Naluri mempertahankan diri (gharizatul baqa) penampakannya mendorong manusia untuk melaksanakan berbagai aktivitas dalam rangka melestarikan kelangsungan hidup. Berdasarkan hal itu dalam dari manusia ada rasa takut, keinginan memiliki menguasai dan mencintai barang, cinta kepada tanah air, cinta kepada bangsa, cinta kepada kekuasaan dan lain-lain. Adanya naluri ini telah diisyaratkan Al Qur’an, dimana manusia cenderung ingin menguasai harta seperti binatang ternak. Allah SWT berfirman :

“Dan apakah mereka tidak melihat bahwa sesungguhnya Kami telah menciptakan binatang ternak untuk mereka yaitu sebagai bagian dari apa yang telah Kami ciptakan dengan kekuasaan kami sendiri, lalu mereka menguasainya ?” (QS Yaasin 71)

Naluri melangsungkan keturunan (gharizatun nau’) penampakannya akan mendorong manusia melangsungkan aktivitas melangsungkan jenis manusia. Sebagai penampakan dari naluri ini, dalam diri manusia memiliki kecenderungan seksual, rasa kebapakan, rasa keibuan, cinta kepada anak-anak, cinta kepada orang tua, simpati kepada orang lain, keinginan menolong orang lain yang membutuhkan dan lain-lain. Adanya naluri ini juga banyak diisyaratkan Al Qur’an. Contohnya rasa suka sesama lawan jenis yang dijelaskan Allah dengan firman-Nya :

“Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan yusuf, dan yusufpun bermaksud (melakukan pula) dengan wanita itu andaikata dia tidak melihat tanda (dari) Tuhannya. Demikianlah, agar Kami memalingkan daripadanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba kami yang terpilih.” (QS Yusuf : 24)

Dengan adanya potensi kehidupan berupa kebutuhan jasmani dan kebutuhan naluri inilah manusia menjalani kehidupannya sehari-hari. Atau dengan kata lain apapun yang dilakukan manusia selama hidup didunia adalah dalam rangka memenuhi seluruh kebutuhan mereka tersebut. Agar pemenuhan terhadap seluruh kebutuhan tersebut berjalan dengan baik dan akan menghasilkan ketenangan, ketenteraman dan kebahagiaan, maka Allah SWT tidak membiarkan pemenuhan terhadap seluruh kebutuhan tersebut diserahkan kepada keinginan hawa nafsu dan akal manusia semata. Allah SWT telah mengutus rasul-Nya dalam rangka menjelaskan kepada manusia mana yang baik dan mana yang buruk terhadap seluruh aktivitas pemenuhan kebutuhan tersebut.

Keterikatan pada Hukum Syara’

Setelah Allah SWT mengutus rasul-Nya tersebut maka setiap manusia akan dimintai pertanggungjawaban atas seluruh amal perbuatan yang dilakukannya didunia. Artinya Allah SWT akan mengazab siapa saja yang tidak mau mengikuti aturan yang dibawa rasul tersebut. Firman Allah SWT :

“(Dan) Kami tidak akan mengazab (suatu kaum) sebelum Kami mengutus seorang rasul.” (QS Al Isra’ 15)

Ayat di atas menjelaskan kepada kita bahwa Allah SWT memberikan jaminan kepada hamba-Nya; bahwa tidak akan diazab seorang manusia (yang diciptakan-Nya) atas perbuatan yang dilakukannya sebelum diutus seorang rasul kepada mereka. Jadi mereka tidak akan dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan yang mereka lakukan sebelum rasul diutus, karena mereka tidak terbebani oleh satu hukum pun. Namum tatkala Allah SWT telah mengutus seorang rasul kepada mereka, maka terikatlah mereka dengan risalah yang dibawa oleh rasul tersebut dan tidak ada alasan lagi untuk tidak mengikatkan diri terhadap hukum-hukum yang telah dibawa oleh rasul tersebut. Allah SWT berfirman :

“(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul itu.” (QS An Nisa’ 165)

Dengan demikian, siapapun yang tidak beriman kepada rasul tersebut, pasti akan diminta pertanggungjawaban dihadapan Allah kelak tentang ketidak-imanannya dan ketidak-terikatannya terhadap hukum-hukum yang dibawa rasul tersebut. Begitu pula bagi yang beriman kepad rasul, serta mengikatkan diri pada hukum yang dibawanya, ia pun akan diminta pertanggungjawaban tentang penyelewengan terhadap salah satu hukum dari hukum-hukum uang dibawa rasul tersebut.

Atas dasar hal ini, maka setiap muslim diperintahkan melakukan amal perbuatannya sesuai dengan dengan hukum-hukum Islam, karena wajib atas mereka untuk menyesuaikan amal perbuatannya dengan segala perintah dan larangan Allah SWT yang telah dibawa oleh Rasulullah saw. Allah SWT berfirman :

“… Apa saja yang dibawa/diperintahkan oleh rasul (berupa hukum) kepadamu maka terimalah dia. Dan apa saja yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah…” (Qs Al Hasyr 7)

Dengan demikian setiap muslim yang hendak melakukan suatu perbuatan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya –baik kebutuhan jasmani maupun kebutuhan naluri– , maka wajib secara syar’i mengetahui hukum Allah tentang perbuatan tersebut sebelum melakukannya, sehingga ia dapat berbuat sesuai dengan hukum syara’. Dengan kata lain, wajib bagi setiap muslim senantiasa mengkaitkan seluruh perbuatannya dengan hukum syari’at Islam, serta tidak melakukan suatu apapun, kecuali jika sesuai dengan perintah dan larangan Allah SWT


Tidak ada komentar: