Rabu, 25 November 2015

ANTARA SYARIAT, TAREKAT, HAKIKAT-MA’RIFAT (1)

Barangsiapa mengambil syari’at belaka tanpa hakikat, maka ia fasik; dan barangsiapa mengambil hakikat belaka tanpa syari’at, maka ia kafir zindik. – Imam al-Ghazali Alkisah, ketika jasad manusia pertama diciptakan oleh Tuhan dengan kedua tangan-Nya, ia bukan apa-apa. Setan yang telah lebih dulu eksis memeriksa isi jasad makhluk baru yang kelak dinamakan Adam. “Kosong,” kata Setan, “hanya tanah liat dengan rongga-rongga, gumpalan-gumpalan, cairan kental dan tulang-tulang kokoh.” Tetapi lalu Tuhan meniupkan Ruh-Nya ke jasad itu—dan hiduplah ia. Lantas diajarilah Adam “nama-nama segala hal” (Q.S. 2:31), dan sujudlah segala malaikat kepadanya atas perintah Tuhan, kecuali, tentu saja, Iblis. Manusia pertama-tama mengenal dirinya sendiri melalui narasi, kisah, dongeng. Melalui “nama-nama segala hal”, Adam mengenal dirinya, mengenal dunianya. Kita bisa berimajinasi banyak hal tentang apakah yang diajarkan oleh Tuhan dalam “nama-nama segala hal” itu. Tetapi ada satu pesan yang sangat jelas: melalui “nama-nama segala hal” itulah Adam (manusia) ditempatkan lebih mulia ketimbang makhluk yang tak mengenal “nama-nama segala hal” meski makhluk itu sesuci malaikat sekalipun! Karena itulah manusia diangkat menjadi khalifah Allah di muka bumi — meskipun pada mulanya ada keberatan dari para malaikat. Nama-nama segala hal adalah kebenaran paripurna yang dipahami oleh Adam. Ia berada di aras surgawi, ada dalam keabadian, atau, meminjam istilah penyair dan mistikus besar Ibnu ‘Arabi, nama-nama segala hal berada dalam a’yan tsabitah (entitas-entitas abadi dan lengkap dalam pengetahuan Tuhan, yang bisa menjadi aktual tetapi juga bisa tidak). Saat Tuhan menghendaki, maka ia akan maujud. Maka dari itu, entitas-entitas itu pada hakikatnya adalah “kemungkinan mutlak”—kemungkinan yang senantiasa hadir dalam kemutlakan Tuhan. Manusia, yang mewarisi “nama-nama segala hal”, adalah salah satu manifestasi dari kemungkinan tersebut. Ini berarti bahwa diri manusia beserta hakikatnya sendiri senantiasa hadir bersama Tuhan, dan Tuhan senantiasa hadir dalam diri manusia, sebab ciptaan seisinya adalah perwujudan dari “kemungkinan mutlak” dalam Diri Tuhan. Implikasinya adalah: manusia menjadi “ahli waris” sifat-sifat Tuhan—karena Tuhan Maha Mencipta, maka manusia juga mewarisi bakat untuk “mencipta”; karena Tuhan adalah Maha Pengasih, maka manusia juga “memiliki” sifat semacam ini, dan seterusnya—namun tentunya dalam kadar yang jauh lebih kecil dan kurang sempurna. Beberapa mistikus Islam mengatakan bahwa nama-nama segala hal adalah Firman Tuhan; Firman atau “Kata” ilahi yang tak terpisah dari objek yang dinamai. Segala pengetahuan berawal dari Firman—seperti dikatakan dalam Perjanjian Baru: “Pada awalnya adalah Firman.” Dalam Al-Quran dinyatakan, Tuhan berfirman “Kun! Fayakun (Jadilah! Maka terjadilah).” “Kun” oleh para mistikus Islam menjadi petunjuk penting untuk memahami penciptaan. Kata Kun ditafsirkan bermacam-macam. Kerap dinyatakan bahwa dalam pra-eksistensi (sebelum ciptaan terwujud—Peny.), nama dengan yang dinamai bukanlah dua unsur yang terpisah—sebuah Firman, Kalam, yang “diucapkan” Tuhan adalah keseluruhan eksistensial dari yang diacu oleh Kata tersebut. Ketika Tuhan “berkata” petir maka kata itu adalah wujud petir itu sendiri, dengan cahaya, ledakan, dan panasnya. Tetapi setelah manusia diturunkan ke bumi, maka kata dipisahkan oleh Tuhan dari objek yang dikatakan. Persoalannya sekarang adalah ketika “nama-nama segala hal” yang ada dalam aras (tingkat) kekekalan itu diturunkan ke aras duniawi, ke aras manusia biasa yang tak kekal (sebab manusia pasti mati di bumi), “nama-nama segala hal” harus dikomunikasikan dengan cara yang sesuai dengan realitas bumi tempat manusia berpijak. Dengan kata lain “nama” dengan “yang dinamai” terpaksa “dipisahkan”, sebab dunia bukanlah sesuatu yang abadi, dan yang abadi tak bisa ditampung oleh yang fana. “Kata-kata,” yang membentuk “kalimat” yang bermakna, lantas menjadi semacam label untuk objek yang diacu oleh kata itu. Maka ketika kita kini menyebut angin, kata angin ini bukan hakikat angin itu sendiri, tetapi menjadi semacam abstraksi dalam pikiran, dalam bayangan mental. Kata menjadi sebentuk “syari’at” yang memberikan informasi dari “hakikat” yang diacu kata-kata. Beberapa mistikus yang mendalami hakikat kata-kata—dengan metodenya sendiri—berhasil “menyatukan kembali” kata (nama) dengan objek yang dikatakan, menyatukan kembali “nama” dengan “yang dinamai”. Mereka yang berhasil mencapai taraf itu dianggap mampu menciptakan sesuatu hanya dengan kata. Kisah legenda Sunan Kalijaga yang mengubah tanah menjadi emas hanya dengan mengucap adalah perlambang dari pandangan ini. Atau, bisa dinyatakan bahwa “kata” dapat menimbulkan efek transformatif. Dengan kata lain, kata “yang dihidupkan” menjadi sebentuk “jalan,” thariqah, yang menghantarkan kita pada hakikat, haqiqah, dari apa-apa yang dirujuk oleh kata itu. Oleh karena itu, kata menjadi semacam kunci penting untuk membuka harta karun pengetahuan “nama-nama segala hal” yang tersimpan utuh di dalam aras keabadian. Barangkali inilah alasan Tuhan menganugerahi manusia kemampuan untuk berkomunikasi, bercakap-cakap, menulis, dan menyatakan pendapat melalui kata-kata. “Membaca” dalam pengertian yang paling luas, adalah semacam anak tangga untuk menggapai “nama-nama segala hal.” Dan karena “nama-nama segala hal” pada hakikatnya adalah pengetahuan azali yang bersifat “mungkin secara mutlak”, maka manusia yang mendapatkan sedikit saja dari kemungkinan itu bakal mendapatkan pengetahuan yang mengandung kekuatan transformatif yang besar. Manusia bisa mengoperasionalisasikan potensi kreatifnya melalui pengetahuan. Dengan demikian, ringkasnya, secara teori, manusia yang terus membaca dan menulis pengetahuan, akan lebih besar peluangnya mendapatkan sepercik pengetahuan “nama-nama segala hal”, mendapatkan segala informasi yang diperlukan. Dan ketika level yang harus dilewati ini sudah dikuasai, setelah ia memahami “nama-nama segala hal”, maka pada titik tertentu ia akan mengalami transformasi, dan pada gilirannya ia akan melampaui “nama-nama segala hal”—yakni melampaui dunia kata-kata menuju ke dunia penyaksian. Ia akan melampau level transformasi menuju afirmasi—yakni pengetahuan tentang Tuhan yang hakiki. Inilah puncak pengetahuan, yakni pengetahuan dari segala pengetahuan, atau inti/esensi dari segala pengetahuan, atau dalam bahasa Sufi lebih dikenal sebagai haqiqah. Jadi, demikianlah urutan suluk (perjalanan ruhani) manusia dalam ajaran Islam: syari’ah (informasi), thariqah (transformasi) dan akhirnya haqiqah (afirmasi). Lalu Apakah haqiqah itu?

Tidak ada komentar: