Minggu, 16 Juni 2013
Kisah Tauladan: "Para Pendamba Surga" (1)
Saif Al Battar
Berikut adalah terjemahan dari ceramah Syaikh DR. Muhammad al-‘Arifi yang berjudul al-Musytaquna ilal Jannah (Para Pendamba Surga) dengan sedikit penyesuaian). Ini adalah sebuah cerita nyata seorang ibunda yang mengorbankan anak putranya untuk berjihad/berperang dijalan Allah. Kisah ini sangat bermanfaat sekali insya Allah, wallahua'lam bisshowab
.......
Ibunda Sang Mujahid Muda:
Ibnul Jauzi dalam Shifatus Shofwah (1/460) dan Ibnun Nahhas dalam Masyariqul ‘Asywaq mengisahkan dari seorang yang shalih yang bernama Abu Qudamah asy-Syami.
“Suatu ketika aku berangkat bersama beberapa sahabatku untuk memerangi kaum Salibis di beberapa pos penjagaan dekat perbatasan. Dalam perjalanan itu aku melalui kota Raqqah (sebuah kota di Irak, dekat sungai Eufrat). Di sana aku membeli seekor unta yang akan kugunakan untuk membawa persenjataanku. Di samping itu aku mengajak warga kota lewat masjid-masjid, untuk ikut serta dalam jihad dan berinfak jihad fisabilillah.
Menjelang malam harinya, ada orang yang mengetuk pintu. Tatkala kubukakan, ternyata ada seorang wanita yang menutupi wajahnya dengan gaunnya.
“Apa yang Anda inginkan?” tanyaku.
“Andakah yang bernama Abu Qudamah?” katanya balik bertanya.
“Benar,” kataku.
“Andakah yang hari ini yang mengumpulkan dana untuk membantu jihad di perbatasan?” tanyanya kembali.
“Ya, benar,” jawabku.
Maka wanita itu menyerahkan secarik kertas dan sebuah bungkusan terikat, kemudian berpaling sambil menangis.
Pada kertas itu tertulis, “Anda mengajak kami untuk ikut berjihad, namun aku tak sanggup untuk itu. Maka kupotong dua buah kuncir kesayanganku agar Anda jadikan sebagai tali kuda Anda. Kuharap bila Allah melihatnya pada kuda Anda dalam jihad, Dia mengampuni dosaku karenanya.”
Ibnul Jauzi dalam komentarnya mengatakan, “Wanita ini niatnya baik, namun caranya keliru karena ia tidak tahu bahwa perbuatannya itu – yakni memotong kucirnya – terlarang, karenanya dalam hal ini kita hanya menyoroti niatnya saja.” (Shifatus Shafwah, 1/459)
“Demi Allah, aku kagum atas semangat dan kegigihannya untuk ikut berjihad, demikian pula dengan kerinduannya untuk mendapat ampunan Allah dan Surga-Nya.” Kata Abu Qudamah.
Keesokan harinya, aku bersama sahabatku beranjak meninggalkan Raqqah. Tatkala kami tiba di benteng Maslamah bin Abdul Malik, tiba-tiba dari belakang ada seorang penunggan kuda yang memanggil-manggil, “Hai Abu Qudamah.. hai Abu Qudamah.. tunggulah sebentar, semoga Allah merahmatimu,” teriak orang itu.
“Kalian berangkat saja duluan, biar aku yang mencari tahu tentang orang ini,” perintahku pada para sahabatku.
Ketika aku hendak menyapanya, orang itu mendahuluiku dan mengatakan, “Segala puji bagi Allah yang mengizinkanku untuk ikut bersamamu dan tidak menolak keikutsertaanku.”
“Apa yang kau inginkan?” tanyaku.
“Aku ingin ikut bersamamu memerangi orang-orang kafir,” jawabnya.
“Perlihatkan wajahmu, aku ingin lihat, kalau engkau memang cukup dewasa dan wajib berjihad, akan aku terima. Namun jika masih kecil dan tidak wajib berjihad, terpaksa kutolak.” Kataku.
Ketika ia menyingkap wajahnya, tampaklah olehku wajah yang putih bersinar bak bulan purnama. Ternyata ia masih muda belia, dan umurnya baru 17 tahun.
“Wahai anakku, apakah kamu memiliki ayah?” tanyaku.
“Ayah terbunuh di tangan kaum Salibis dan aku ingin ikut bersamamu untuk memerangi orang-orang yang membunuh ayahku,” tanyaku.
“Bagaimana dengan ibumu, masih hidupkah dia?” tanyaku lagi.
“Ya,” jawabnya.
“Kembalilah ke ibumu dan rawatlah ia baik-baik, karena surga ada di bawah telapak kakinya,” pintaku kepadanya.
“Kau tak kenal ibuku?” tanyanya.
“Tidak,” jawabku.
“Ibuku ialah pemilik titipan itu,” katanya.
“Titipan yang mana?” tanyaku.
“Dialah yang menitipkan tali kuda itu,” jawabnya.
“Tali kuda yang mana?” tanyaku keheranan.
“Subhanallah..!! Alangkah pelupanya Anda ini, tidak ingatkah Anda dengan wanita yang datang tadi malam menyerahkan seutas tali kuda dan bingkisan?”
“Ya, aku ingat,” jawabku.
“Dialah ibuku! Dia menyuruhku untuk berjihad bersamamu dan mengambil sumpah dariku supaya aku tidak kembali lagi,” katanya.
“Ibuku berkata, “Wahai anakku, jika kamu telah berhadapan dengan musuh, maka janganlah kamu melarikan diri. Persembahkanlah jiwamu untuk Allah. Mintalah kedudukan di sisi-Nya, dan mintalah agar engkau ditempatkan bersama ayah dan paman-pamanmu di Jannah. Jika Allah mengaruniaimu mati syahid, maka mintalah syafa’at bagiku.”
Kemudian ibu memelukku, lalu menengadahkan kepalanya ke langit seraya berkata, “Ya Allah.. ya Ilahi.. inilah putraku, buah hati dan belahan jiwaku, kupersembahkan ia untukmu, maka dekatkanlah ia dengan ayahnya.”
“Aku benar-benar takjub dengan anak ini,” kata Abu Qudamah, lalu anak itupun segera menyela, “Karenanya, kumohon atas nama Allah, janganlah kau halangi aku untuk berjihad bersamamu. Insya Allah akulah asy-syahid putra asy-syahid. Aku telah hafal al-Quran. Aku juga jago menunggang kuda dan memanah. Maka janganlah meremehkanku karena usiaku yang masih belia,” kata anak itu memelas.
Setelah mendengar uraiannya aku tak kuasa melarangnya, maka kusertakanlah ia bersamaku. Demi Allah, ternyata tak pernah kulihat orang yang lebih cekatan darinya. Ketika pasukan bergerak, dialah yang tercepat, ketika kami singgah untuk beristirahat, dialah yang paling sibuk mengurus kami, sedang lisannya tak pernah berhenti dari dzikrullah sama sekali.
Sampai tibanya di medan perang, Aku pun terus mengikuti dan memperhatikan gerak-geriknya, lalu tampaklah olehku bahwa ia berada dibarisan terdepan. Maka segera kukejar dia, kusibak barisan demi barisan hingga sampai kepadanya, kemudian aku berkata,
“Wahai anakku, adakah engkau memiliki pengalaman berperang..?”
“Tidak.. tidak pernah. Ini justru pertempuranku yang pertama kali melawan orang kafir,” jawab si bocah.
“Wahai anakku, sesungguhnya perkara ini tak segampang yang kau bayangkan, ini adalah peperangan. Sebuah pertumpahan darah di tengah gemerincingnya pedang, ringkikan kuda, dan hujan panah.
Wahai anakku, sebaiknya engkau ambil posisi di belakang saja. Jika kita menang kaupun ikut menang, namun jika kita kalah kau tak jadi korban pertama,” pintaku kepadanya.
Lalu dengan tatapan penuh keheranan ia berkata, “Paman, engkau berkata seperti itu kepadaku..!?”
“Ya, aku mengatakan seperti itu kepadamu,” jawabku.
“Paman.. apa engkau menginginkanku jadi penghuni neraka..?” tanyanya.
Bersambung .... 2
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar