Sabtu, 01 Januari 2011

Revisi atas Kesalahan Pemahaman seputar Kematian


Al-Mawt (kematian) merupakan realitas agung dalam kehidupan. Kematian adalah kebalikan dari kehidupan. Dalam membahas realitas agung ini, pemikiran manusia yang lemah telah disibukkan untuk mencari solusi dan membahas esensinya. Para filsuf pun telah sibuk memperdebatkan substansi realitas tersebut sepanjang zaman, namun tanpa hasil yang berarti. Semua pandangan mereka menjadi hampa. Karena realitas tersebut merupakan realitas gaib yang tidak bisa diteliti dan didefinisikan dengan jelas. Maka, hakikat kematian tersebut tetap menjadi misteri, dan hanya syari’at Islamlah yang mampu memberikan jawaban yang memuaskan.

Hanya saja setelah realitas kematian ini tidak difahami berdasarkan ajaran Islam, khususnya setelah filsafat Yunani banyak mempengaruhi pemikiran kaum muslimin, maka terjadilah kekacauan dan kekaburan yang menutupi realitas ini. Lebih-lebih setelah pemikiran kaum muslimin mengalami kemunduran. Akibatnya mereka melihat realitas agung tersebut berdasarkan pemikiran dangkal yang mereka miliki. Akhirnya berkembanglah khurafat, bahwa kematian substansinya satu tetapi penyebabnya seribu. Muncullah anggapan-anggapan, bahwa kematian itu bisa disebabkan oleh penyakit kanker, atau bisa disebabkan oleh kecelakaan, bisa juga akibat dibunuh orang atau bunuh diri. Semuanya tadi dianggap sebagai penyebab kematian. Karena kedangkalan pemikiran mereka, mereka tidak bisa membedakan antara apa yang menimbulkan akibat secara pasti, layaknya hukum sebab-akibat, dengan faktor-faktor kondisional (al-hâlah) yang memungkinkan terjadinya kematian.

Setelah diteliti secara mendalam, realitas agung kematian ini pada dasarnya sama dengan rizki. Artinya, Yang Maha Menghidupkan (al-muhyi) dan Mematikan (al-mumît) adalah Allah SWT. Karena kehidupan dan kematian sama-sama berada di tangan Allah. Allah SWT. telah berfirman dalam nas al-Qur’an:

“Dan tidak satu jiwa pun akan meninggal, kecuali atas izin Allah (yang telah ditentukan) dalam catatan yang ditetapkan.” (Q.s. Ali Imrân: 145).

“Allahlah Yang rnematikan jiwa, ketika (tiba masa) kematiannya. Dan yang tidak mati, ketika dalam tidurnya.” (Q.s. Az-Zumar: 42).

“Tuhanku, Yang Maha Menghidupkan dan Mematikan.” (Q.s. Al-Baqarah: 258).

“Bagaimana kalian bisa menjadi kufur Allah, sedangkan kalian sebelumnya mati, Dialah yang telah menghidupkan kalian, kemudian Dialah yang mematikan kalian, lalu menghidupkan kalian kembali, dan kepada-Nyalah kalian akan dikembalikan.” (Q.s. Al-Baqarah: 28).

“Di mana saja kalian berada, tentu kalian akan didatangi oleh kamatian meskipun kalian berada dalam benteng yang tinggi dan kokoh.” (Q.s. An-Nisâ’: 78).

“Katakanlah (Muhammad): ‘Sesungguhnya kematian yang menyebabkan kalian lari darinya, pasti akan menjemui kalian.” (Q.s. Al-Jumu’ah: 08).

Ayat-ayat di atas dengan jelas menyatakan, bahwa realitas kematian yang agung tersebut merupakan kenyataan yang ditetapkan oleh Allah SWT. sebagaimana Dia telah menetapkan kehidupan pada manusia. Inilah yang dinyatakan oleh Allah SWT. sebagai al-Muhyi (Maha Menghidupkan) dan al-Mumît (Maha Mematikan). Ayat-ayat di atas dengan jelas menggambarkan, bahwa Allahlah yang menjadi sebab kematian. Bukan yang lain. Sebab, Dialah yang Maha Menghidupkan dan Maha Mematikan. Ini artinya, realitas agung kematian tersebut tergantung pada irâdah dan masyî’ah-Nya, sebagaimana rizki yang diberikan-Nya kepada manusia.

Maka, ketika Allah telah menetapkan kematian tersebut pada ma nusia, pasti tidak ada seorangpun yang bisa melarikan diri dari ketetapan-Nya, sehingga ke mana saja dia berada, pasti kematian akan menemuinya. Meskipun dia bersembunyi dalam benteng yang tinggi dan kokoh. Sebaliknya, jika belum ditetapkan, maka dia pun tidak akan mati, sekalipun dalam kondisi terkula parah atau sekarat sekalipun.

Bukan hanya itu, selain Allah menjelaskan bahwa Dialah yang Maha Mematikan, Dia juga telah menjelaskan bahwa satu-satunya sebab kematian adalah ketika ajal (tempo) kematiannya telah berakhir. Allah berfirman:

“Dan sekali-sekali Allah tidak akan menangguhkan (kematian) manusia, jika ajal (tempo)-nya telah tiba.” (Q.s. Al-Munâfiqûn: 11).

“Jika telah tiba ajal mereka, mereka tidak b isa minta ditangguhkan, sekalipun hanya sesaat, dan mereka juga tidak bisa minta diajukan (walaupun sesaat, jika ajalnya belum tiba).” (Q.s. An-Nahl: 61).

Ayat-ayat di atas menjelaskan, bahwa ketika tempo (ajal) kematian seseorang telah berakhir, maka Allah pun tidak akan menangguhkan kematiannya. Demikian sebaliknya, ketika ajalnya belum berakhir, Allah juga tidak akan mengajukannya. Dengan demikian, jelas bahwa Allahlah yang Maha Mematikan, yang telah menetapkan ajal bagi kematian, sehingga semuanya tadi tunduk pada irâdah dan masyî’ah Allah. Ayat-ayat di atas juga menjelaskan penisbatan kematian, yaitu Allah. Penisbatan ini merupakan penisbatan yang sesungguhnya (nisbah haqîqîyyah)kecuali jika ada indikan yang memalingkannya dari makna yang sesungguhnya, maka pada saat itulah penisbatan tersebut berubah menjadi nisbah allâhaqîqîyyah, atau penisbatan yang tidak sesungguhnya. Dalam konteks ayat-ayat tersebut tidak ada satu ayatpun yang bisa dijadikan qarînah (indikasi) untuk memalingkan penisbatan tersebut pada makna majaz.

Mengenai firman Allah SWT. yang menyatakan:

“Katakanlah (Muhammad): ‘Malaikat maut yang diserahi untuk mencabut nyawa kalianlah yang mematikan kalian.” (Q.s. As-Sajdah: 11).

Ayat ini juga tidak bisa dijadikan sebagai indikasi untuk mengubah penisbatan sandaran tersebut, dari penisbatan yang sesungguhnya menjadi penisbatan majaz. Karena, tarkîb (susunan lafadz): Al-ladzi wukkila bikum (yang diserahi untuk mencabut nyawa kalian) tersebut jelas menunjukkan, bahwa kedudukan malaikat maut hanyalah mewakili Allah, zat satu-satunya pemegang otoritas mematikan dan menghidupkan. Dengan demikian, ayat tersebut tidak bisa mengubah apalagi menggugurkan penisbatan mati kepada Allah.

Maka, siapapun harus meyakini bahwa tidak ada seorang pun yang akan meninggal dunia, kecuali setelah ajalnya berakhir, sedangkan zat yang Maha Menghidupkan dan Mematikan adalah Allah SWT. Siapapun yang tidak meyakininya, berarti telah kufur, karena telah mengingkari dalil-dalil yang qath’i. Siapa saja yang juga mengingkari, bahwa kematian tersebut berada di tangan Allah, dimana manusia tidak akan mati, kecuali setelah ajalnya tiba, maka orang tersebut telah kafir.

Mengenai kasus-kasus kematian yang ditimbulkan oleh pembunuhan, kecelakaan, tabrakan, kanker, jantung, AIDS ataupun faktor-faktor kondisional yang lain, tetap tidak bisa diyakini bahwa faktor-faktor kondisional itulah penyebabnya. Karena, jika faktor-faktor kondisional tersebut disebut sebagai sebab, maka setiap sebab pasti akan mendatangkan akibat. Inilah hukum kausalitas. Tetapi, jika faktor-faktor kondisional tersebut ada, sementara kematian tidak terjadi, maka faktor-faktor tersebut tidak bisa disebut sebagai sebab. Karena itu, siapa saja yang berfikir secara mendalam akan bisa membedakan antara sebab dengan faktor kondisional kematian tersebut. Contoh, seorang penderita kanker kronis telah dinyatakan oleh dokter spesialis, bahwa dia hanya bisa bertahan tidak lebih dari dua bulan, tetapi orang tersebut nyatanya sehat dan tidak meninggal dunia hingga bertahun-tahun. Demikian halnya dengan serangan penyakit jantung. Banyak orang yang terkena serangan jantung secara tiba-tiba dan pingsan, tetapi tidak meninggal dunia, sebaliknya dia hidup kembali. Virus HIV, yang dianggap sebagai virus mematikan, ternyata banyak orang terseran virus ini, faktanya ada yang mati cepat dan tidak, padahal virusnya sama. Lalu, siapakah yang menentukan lambat dan cepatnya? Tentu bukan karena virus itu sendiri, melainkan ajallah satu-satunya yang menentukan kapan berakhirnya hidup seseorang. Sementara yang menetapkan ajal tersebut adalah Allah SWT. Dia berfirman:

“Sesungguhnya Allah, di sisi-Nyalah pengetahuan mengenai Hari Kiamat; Dialah yang menurunkan hujan dan mengetahui apa saja yang ada di rahim. Tidak seorang pun yang bisa mengetahui apa yang diusahakannya besok. Tidak seorang pun yang bisa mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Q.s. Luqmân: 34).

Justru karena tidak seorang manusiapun yang mengerti apa yang bakal terjadi pada dirinya, termasuk kapan, di mana dan dalam kondisi seperti apa ajalnya akan menemuinya, maka dia harus berusaha untuk menjaga dirinya agar tidak meninggal dunia dalam keadaan sû’ al-khâtimah. Karena itulah, maka para sahabat selalu berlomba ikut berperang untuk mendapatkan mati syahid, supaya mendapatkan husn al-khâtimah. Maka, Abdullâh bin Ummi Maktûm yang buta itu pun meminta kepada Nabi saw. agar diperkenankan memegang bendera perang supaya bisa meninggal sebagai syahid, tetapi tidak diperkenankan oleh Nabi

Karena itu, mengapa dahulu para sahabat menjadi orang yang sangat berani menegakkan kebenaran, tanpa rasa takut sedikitpun terhadap kematian? Lihat, bagaimana dialog antara Asma’ binti Abî Bakar, ibu Abdullâh bin az-Zubayr, ketika anaknya yang waktu itu menjadi khalifah kalah dalam peperangan menghadapi pasukan al-Hujjâj, panglima Marwân al-Hakam:

“Bagaimana ini wahai ibunda? Beliau (Asma’) berkata: ‘Sesungguhnya di dalam kematian itu benar-benar ada ketenangan. Jika kamu terbunuh, ibumu telah merelakanmu, dan jika kamu menang, kamu telah menjadi cahaya kedua mataku.’ Wahai ibunda, mereka telah memberi ananda jaminan keamanan; bagaimana menurutmu? Beliau (Asma’) berkata: ‘Wahai anakku, kamu lebih tahu akan dirimu; jika kamu memang berada pada jalan kebenaran, dan menyerukannya, maka jangan beri peluang budak Bani Ummayah mempermainkan kamu, tetapi jika kamu tidak berada pada jalan kebenaran, maka tetapkan pada urusanmu dan apa yang kamu kehendaki.’ Wahai ibunda, sesungguhnya Allah benar-benar Maha Tahu, bahwa tidak ada yang ananda kehendaki kecuali kebenaran, dan hanya itulah yang ananda tuntut. Ananda tidak melangkah dalam keraguan sedikitpun. Sungguh, ananda menyatakan demikian, bukan untuk menenangkan hati ananda, tetapi untuk menenangkan hati ibunda. Wahai ibunda, sesungguhnya ananda takut jika ananda dibunuh, mereka akan memotong-motong ananda.’ Beliau (Asma’) berkata: ‘Wahai ananda, sesungguhnya kambing tidak lagi merasakan sakitnya pemotongan ketika telah disembelih.’ Segala puji hanya milik Allah yang telah memberi taufik kepada ibunda, dan meneguhkan hati ibunda.’”

Kematian bagi sahabat, seperti Asma’ dan anaknya, Abdullâh, bukanlah sesuatu yang ditakuti demi memperjuangkan kebenaran. Dengan prinsip itulah, Islam berhasil disebarkan oleh generasi seperti ini di 2/3 belahan dunia. Seorang muslim seperti mereka juga tidak gentar menghadapi tantangan kematian seberat apapun. Bahkan kematian telah menjadi kebanggaan mereka, karena dengan itu mereka bisa meraih kemuliaan di sisi Allah SWT.

Tidak ada komentar: